Kamis, 21 Januari 2016

KEMUHAMMADIYAAN



MUHAMMADIYAH DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

KHA.Dahlan memberdayakan perempuan dengan cara mendirikan organisasi wanita yaitu Aisyiyah. lalu diadakan peresmian pada tanggal 27 Rajab 1335 H/19 Mei 1917 M bersamaan dengan peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw. Pesan Kiyai Dahlan setelah kepengurusan Aisyiyah secara resmi terbentuk ialah sebagai berikut:
Ø  Dengan keikhlasan hati menunaikan tugasnya  sebagai wanita Islam sesuai dengan bakat dan  percakapannya, tidak menghendaki sanjung puji  dan tidak mundur selangkah karena dicela.
Ø   Penuh  keinsyafan, bahwa beramal itu harus berilmu.
Ø  Jangan mengadakan alasan yang tidak dianggap sah oleh Tuhan Allah hanya untuk menghindari suatu tugas yang diserahkan.
Ø    Membulatkan tekad untuk membela kesucian agama Islam.
Ø  Menjaga persaudaraan dan kesatuan kawan   sekerja dan seperjuangan
Gerakan pemberantasan kebodohan yang menjadi salah satu pilar perjuangan Aisyiyah dicanangkan dengan mengadakan pemberantasan buta huruf pertama kali, baik buta huruf arab    maupun latin pada tahun 1923. Dalam kegiatan ini    para peserta yang terdiri dari para gadis dan ibu- ibu rumah tangga belajar bersama dengan tujuan   meningkatkan pengetahuan dan peningkatan partisipasi perempuan dalam dunia publik. Selain itu, pada tahun 1926, Aisyiyah mulai menerbitkan majalah organisasi yang diberi nama Suara Aisyiyah, yang awal berdirinya menggunakan    Bahasa Jawa. Melalui majalah bulanan inilah Aisyiyah antara lain  mengkomunikasikan semua program dan kegiatannya termasuk konsolidasi internal organisasi.
Dalam hal pergerakan kebangsaan, Aisyiyah juga termasuk organisasi yang turut memprakarsai dan membidani terbentuknya organisasi wanita pada tahun 1928. Dalam hal ini, Aisyiyah bersama dengan organisasi wanita lain bangkit berjuang untuk membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan dan kebodohan. Badan federasi ini diberi nama Kongres Perempuan Indonesia yang sekarang menjadi KOWANI (Kongres Wanita Indonesia). Lewat federasi ini berbagai usaha dan bentuk perjuangan bangsa dapat dilakukan secara terpadu.

1.    Gender
 Gender adalah perbedaan antara pria dan wanita yang bukan berdasarkan pada  faktor biologis, bukan berdasarkan jenis kelamin (sex) sebagai kodrat Tuhan yang  secara permanen berbeda, tetapi behavior differences antara pria dan wanita yang  socially constructed, yaitu perbedaan yang diciptakan melalui proses sosial dan budaya  yang panjang. [2]
Jadi, gender adalah konsep perbedaan peran sosial antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh konstruksi sosial budaya.
2.    Hadits-Hadits Gender
Hadits menurut muhadditsin adalah segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya. Yang dimaksud dengan hal ihwal ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW.. yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaan.[3]
Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan hadits yang intinya berbunyi:  
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلَ الله صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَمَ " اِنﱠﱠ اْلمَرْءَةُ كَالضلع إِذَا ذَهَبْتُ تقيمهَا كسرتهَا وَان تركتها استمتعت بِهَا وَفِيْهَا عوج" رواه البخارى ومسلم.
Artinya: Dari Abi Hurairah RA. berkata: Rasulullah SAW.. bersabda: “Sesungguhnya perempuan seperti tulang rusuk, jika kalian mencoba meluruskannya ia akan patah. Tetapi jika kalian membiarkannya maka kalian akan menikmatinya dengan tetap dalam keadaan bengkok” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari uraian-uraian di atas jelas kelihatan bahwa Al-Qur’an sebenarnya hanya mengungkapkan persamaan-persamaan antara laki-laki dan perempuan. Padahal sesungguhnya semangat ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW.. tidak sejalan dengan cerita-cerita yang memojokkan perempuan. Koherensi dan konsistensi ajaran Islam dengan praktek Rasulullah inilah yang dicatat sebagai suatu revolusi kultural pada saat itu.[4]  
Hadits-hadits gender bukan berarti hadits-hadits yang dijadikan dalil atau konsep gender yang Islami. Akan tetapi hadits gender adalah hadits yang Beberapa hadits-hadits gender diantaranya sebagai berikut:
a.    Hadits Tentang Penciptaan Manusia
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْ
تَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاء
Artinya: Dari Abi Hurairah: Nabi bersabda: “berwasiatlah tentang perempuan, karena sesungguhnya mereka tercipta dari tulang, dan tulang yang paling bengkok adalah yang tertinggi. Jika engkau berusaha meluruskan berarti engkau merusaknya, jika dibiarkan maka akan tetap bengkok”.(Sahih Bukhari, Kitab Ahadits al-Anbiya, bab Khalq Adam wa dzurriyatuh, no. 3084)
Hadits yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau perempuan bagaikan tulang rusuk dari segi sanadnya bernilai shahih, namun ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama dan sarjana menyangkut matannya, khususnya matan yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk. Di antara mereka ada yang menerima dan ada yang menolak. Pada kelompok yang menerima, ada dua pendapat: pertama; mengartikannya secara tekstual, bahkan digunakan untuk menafsirkan QS.an-Nisa’ (4) ayat 1 tentang penciptaan manusia, sehingga menurut mereka Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Sementara yang kedua mengartikan hadits tersebut secara metaforis[5], bahwa kaum laki-laki harus berlaku baik dan bijaksana dalam menghadapi perempuan. Sementara kelompok yang menolak hadits itu berargumen bahwa hadits tersebut harus ditolak karena isinya tidak sesuai dengan ayat-ayat al-Quran.
Aapabila ditempatkan dalam konteksnya secara tepat dan dipahami secara utuh dari keseluruhan matan yang ada, tidak hanya parsial kalimat perkalimat atau matan permatan, maka hadits-hadits tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan penciptaan awal perempuan. Hadits-hadits itu berisi pesan Nabi kepada kaum laki-laki waktu itu untuk berlaku baik kepada isteri-isteri mereka atau perempuan secara umum. Pesan ini salah satu manifestasi dari ajaran Islam yang menempatkan laki-laki dan perempuan sejajar.[6]
Jadi, hadits ini secara kontekstual mengarah pada pesan untuk saling menghormati dan saling berbuat baik antara suami dan istri.
b.    Hadits Tentang Kepemimpinan
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
Artinya: Dari Bakrah diriwayatkan bahwa ketika Nabi mendengar bahwasanya Kaisar Persia diganti dengan perempuan maka Nabi bersabda: “Tidak akan sukses suatu kaum yang dipimpin oleh perempuan.” (Sahih Bukhari Kitab al-Maghazim, bab kitab al-Nabi ila kisra wa Qaishar no 4073)
Dilihat dari sisi sanad, hadits tentang larangan kepemimpinan politik perempuan dapat dinilai shahih. Tapi meskipun hadits larangan kepemimpinan politik perempuan dapat dinilai shahih, ternyata masih berpeluang untuk didiskusikan. Di kalangan ulama, terdapat para ulama yang tidak sepakat terhadap pemakaian hadits tersebut bertalian dengan masalah perempuan dan politik. Tetapi banyak juga yang menggunakan hadits tersebut sebagai argumen untuk menggusur perempuan dari proses pengambilan keputusan. Jika ditelaah lebih lanjut, maka hadits tersebut mengandung pengertian bayan al-waqi’ atau pengungkapan fakta realitas yang berkembang pada saat itu, dan tidak dimaksudkan sebagai sebuah ketentuan syariat bahwa syarat pemimpin harus laki-laki.[7]
Hadits tersebut dipahami sebagai isyarat bahwa perempuan tidak boleh dijadikan pemimpin dalam urusan pemerintahan atau politik. Oleh
karenanya banyak ulama yang menyatakan seorang perempuan tidak sah
menjadi khalifah atau imam. Para ulama tersebut menanggapi hadits ini
sebagai ketentuan yang bersifat baku (universal), tanpa melihat
aspek-aspek yang terkait dengan hadits, seperti kapasitas diri Nabi SAW.
ketika mengucapkan hadits, suasana yang melatarbelakangi munculnya hadits,
setting sosial yang melingkupi sebuah hadits. Padahal, segi-segi yang
berkaitan dengan diri Nabi SAW.. dan suasana yang melatarbelakangi atau
menyebabkan terjadinya hadits mempunyai kedudukan penting dalam pemahaman
hadits secara utuh.
Berarti sabda Nabi SAW.. ini jelas bertentangan dengan fakta yang ada. Bahkan dalam al-Qur`an pun dijumpai kisah tentang adanya seorang perempuan yang memimpin negara dan meraih sukses besar, yaitu Ratu Bilqis di negeri Sabaâ.[8]
Perempuan dan laki-laki berhak menjadi pemimpin dengan catatan ia mampu untuk melaksanakan dan mempertanggungjawabkannya.
c.    Hadits Tentang Laknat Malaikat
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ[9]
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi, SAW. berkata jika seorang pria memanggil istrinya ke tempat tidurnya dan dia menolak untuk datang maka malaikat mengutuk dia sampai pagi. (HR. Bukhari)
Jika hadits ini dipahami secara harfiah, maka akan sangat bertentangan dengan prinsip al-Qur’an “wa ‘asyiruhunna bi al-ma’ruf”. Kata “wahuwa ghadlaban” artinya suami dalam keadaan marah, berarti kalau tidak marah, tidak apa-apa. Apalagi kalau istri sedang lelah, sakit dsb. yang menyebabkan tidak bisa ‘menjalankan tugas’ maka suami pun tidak berhak untuk marah, sebab jika suami marah maka telah menyalahi ketentuan “mu’asyarah bi-al ma’ruf”.[10]
Jadi, hadits tersebut tidaklah memberatkan perempuan dengan beban melayani suami seperti diatas.
d.   Hadits Tentang Puasa Sunnah
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِه[11]
Artinya: “Telah berkata Muhammad bin Muqotil mengabarkan kepada kita Abdullah mengatakan kepada kami Muammar dari Hammam bin Manab dari Abu Hurairah dari Nabi SAW..; Tidak boleh bagi wanita untuk berpuasa sunat jika suaminya hadir (tidak musafir) kecuali dengan seizinnya.”(HR. Bukhori)
Jika dipahami secara harfiah, hadits ini akan menimbulkan kesalahpaman dan kesan diskriminatif. Padahal ini dari hadits tersebut adalah dalam berumah tangga hendaknya masing-masing pasangan mengetahui apa yang sedang dilakukan pasangannya.
Berdasarkan analisis matan hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa selama ini isu-isu diskriminatif gender sangat bertentangan dengan nash hadits. Apa yang selama ini dituduh oleh aktifis feminisme justru sangat bertentangan dengan Islam. Salah satu misi Islam adalah memuliakan perempuan. Dan itu terbukti, hadits-hadits yang dituduh misoginis[12] masih kalah banyak dibanding hadits yang memuliakan perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar