MUHAMMADIYAH DAN PEMBERDAYAAN
PEREMPUAN
KHA.Dahlan
memberdayakan perempuan dengan cara mendirikan organisasi wanita yaitu Aisyiyah. lalu diadakan peresmian pada
tanggal 27 Rajab 1335 H/19 Mei 1917 M bersamaan dengan peringatan Isra’ dan
Mi’raj Nabi Muhammad Saw. Pesan Kiyai Dahlan setelah kepengurusan Aisyiyah
secara resmi terbentuk ialah sebagai berikut:
Ø Dengan keikhlasan hati menunaikan
tugasnya sebagai wanita Islam sesuai
dengan bakat dan percakapannya, tidak
menghendaki sanjung puji dan tidak
mundur selangkah karena dicela.
Ø Penuh keinsyafan,
bahwa beramal itu harus berilmu.
Ø Jangan mengadakan alasan yang tidak
dianggap sah oleh Tuhan Allah hanya untuk menghindari suatu tugas yang
diserahkan.
Ø Membulatkan tekad untuk membela
kesucian agama Islam.
Ø Menjaga persaudaraan dan kesatuan
kawan sekerja dan seperjuangan
Gerakan
pemberantasan kebodohan yang menjadi salah satu pilar perjuangan Aisyiyah
dicanangkan dengan mengadakan pemberantasan buta huruf pertama kali, baik buta
huruf arab maupun latin pada tahun
1923. Dalam kegiatan ini para peserta
yang terdiri dari para gadis dan ibu- ibu rumah tangga belajar bersama dengan
tujuan meningkatkan pengetahuan dan
peningkatan partisipasi perempuan dalam dunia publik. Selain itu, pada tahun
1926, Aisyiyah mulai menerbitkan majalah organisasi yang diberi nama Suara
Aisyiyah, yang awal berdirinya menggunakan
Bahasa Jawa. Melalui majalah bulanan inilah Aisyiyah antara lain mengkomunikasikan semua program dan
kegiatannya termasuk konsolidasi internal organisasi.
Dalam hal pergerakan kebangsaan, Aisyiyah juga termasuk
organisasi yang turut memprakarsai dan membidani terbentuknya organisasi wanita
pada tahun
1928. Dalam hal ini, Aisyiyah bersama dengan organisasi wanita lain bangkit
berjuang untuk membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan dan
kebodohan. Badan federasi ini diberi nama Kongres Perempuan Indonesia yang
sekarang menjadi KOWANI (Kongres Wanita Indonesia). Lewat federasi ini berbagai
usaha dan bentuk perjuangan bangsa dapat dilakukan secara terpadu.
1.
Gender
Gender adalah perbedaan antara pria dan wanita yang bukan berdasarkan pada
faktor biologis, bukan berdasarkan jenis kelamin (sex) sebagai kodrat Tuhan yang
secara permanen berbeda, tetapi behavior differences antara pria dan wanita yang
socially constructed, yaitu perbedaan yang diciptakan melalui proses sosial dan
budaya yang panjang. [2]
Jadi, gender adalah konsep
perbedaan peran sosial antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh
konstruksi sosial budaya.
2.
Hadits-Hadits Gender
Hadits menurut muhadditsin
adalah segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya. Yang dimaksud
dengan hal ihwal ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW.. yang
berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan
kebiasaan-kebiasaan.[3]
Imam Bukhari dan Muslim
juga meriwayatkan hadits yang intinya berbunyi:
عَنْ اَبِى
هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلَ الله صَلَى الله عَلَيْهِ
وَسَلَمَ " اِنﱠﱠ اْلمَرْءَةُ كَالضلع إِذَا ذَهَبْتُ تقيمهَا كسرتهَا وَان
تركتها استمتعت بِهَا وَفِيْهَا عوج" رواه البخارى ومسلم.
Artinya:
Dari Abi Hurairah RA. berkata: Rasulullah SAW.. bersabda: “Sesungguhnya
perempuan seperti tulang rusuk, jika kalian mencoba meluruskannya ia akan
patah. Tetapi jika kalian membiarkannya maka kalian akan menikmatinya dengan
tetap dalam keadaan bengkok” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari
uraian-uraian di atas jelas kelihatan bahwa Al-Qur’an sebenarnya hanya
mengungkapkan persamaan-persamaan antara laki-laki dan perempuan. Padahal
sesungguhnya semangat ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW.. tidak sejalan
dengan cerita-cerita yang memojokkan perempuan. Koherensi dan konsistensi
ajaran Islam dengan praktek Rasulullah inilah yang dicatat sebagai suatu
revolusi kultural pada saat itu.[4]
Hadits-hadits
gender bukan berarti hadits-hadits yang dijadikan dalil atau konsep gender yang
Islami. Akan tetapi hadits gender adalah hadits yang Beberapa hadits-hadits
gender diantaranya sebagai berikut:
a.
Hadits Tentang Penciptaan Manusia
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ
ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْ
تَ تُقِيمُهُ
كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاء
Artinya:
Dari Abi Hurairah: Nabi bersabda: “berwasiatlah tentang perempuan, karena
sesungguhnya mereka tercipta dari tulang, dan tulang yang paling bengkok adalah
yang tertinggi. Jika engkau berusaha meluruskan berarti engkau merusaknya, jika
dibiarkan maka akan tetap bengkok”.(Sahih Bukhari, Kitab Ahadits al-Anbiya,
bab Khalq Adam wa dzurriyatuh, no. 3084)
Hadits
yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau perempuan
bagaikan tulang rusuk dari segi sanadnya bernilai shahih, namun ada perbedaan
pendapat di kalangan para ulama dan sarjana menyangkut matannya, khususnya
matan yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk. Di antara
mereka ada yang menerima dan ada yang menolak. Pada kelompok yang menerima, ada
dua pendapat: pertama; mengartikannya secara tekstual, bahkan digunakan untuk
menafsirkan QS.an-Nisa’ (4) ayat 1 tentang penciptaan manusia, sehingga menurut
mereka Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Sementara yang kedua mengartikan
hadits tersebut secara metaforis[5], bahwa kaum laki-laki harus berlaku baik
dan bijaksana dalam menghadapi perempuan. Sementara kelompok yang menolak
hadits itu berargumen bahwa hadits tersebut harus ditolak karena isinya tidak
sesuai dengan ayat-ayat al-Quran.
Aapabila
ditempatkan dalam konteksnya secara tepat dan dipahami secara utuh dari
keseluruhan matan yang ada, tidak hanya parsial kalimat perkalimat atau matan
permatan, maka hadits-hadits tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan
penciptaan awal perempuan. Hadits-hadits itu berisi pesan Nabi kepada kaum
laki-laki waktu itu untuk berlaku baik kepada isteri-isteri mereka atau
perempuan secara umum. Pesan ini salah satu manifestasi dari ajaran Islam yang
menempatkan laki-laki dan perempuan sejajar.[6]
Jadi,
hadits ini secara kontekstual mengarah pada pesan untuk saling menghormati dan
saling berbuat baik antara suami dan istri.
b.
Hadits Tentang Kepemimpinan
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ
سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ
فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
Artinya: Dari Bakrah diriwayatkan bahwa ketika
Nabi mendengar bahwasanya Kaisar Persia diganti dengan perempuan maka
Nabi bersabda: “Tidak akan sukses suatu kaum yang dipimpin oleh
perempuan.” (Sahih
Bukhari Kitab al-Maghazim, bab kitab al-Nabi ila kisra wa Qaishar no
4073)
Dilihat
dari sisi sanad, hadits tentang larangan kepemimpinan politik perempuan
dapat dinilai shahih. Tapi meskipun hadits larangan kepemimpinan politik
perempuan dapat dinilai shahih, ternyata masih berpeluang untuk
didiskusikan. Di kalangan ulama, terdapat para ulama yang tidak sepakat
terhadap pemakaian hadits tersebut bertalian dengan masalah perempuan dan
politik. Tetapi banyak juga yang menggunakan hadits tersebut sebagai argumen
untuk menggusur perempuan dari proses pengambilan keputusan. Jika ditelaah
lebih lanjut, maka hadits tersebut mengandung pengertian bayan al-waqi’
atau pengungkapan fakta realitas yang berkembang pada saat itu, dan tidak
dimaksudkan sebagai sebuah ketentuan syariat bahwa syarat pemimpin harus
laki-laki.[7]
Hadits
tersebut dipahami sebagai isyarat bahwa perempuan tidak boleh dijadikan
pemimpin dalam urusan pemerintahan atau politik. Oleh
karenanya banyak ulama yang menyatakan seorang perempuan tidak sah
menjadi khalifah atau imam. Para ulama tersebut menanggapi hadits ini
sebagai ketentuan yang bersifat baku (universal), tanpa melihat
aspek-aspek yang terkait dengan hadits, seperti kapasitas diri Nabi SAW.
ketika mengucapkan hadits, suasana yang melatarbelakangi munculnya hadits,
setting sosial yang melingkupi sebuah hadits. Padahal, segi-segi yang
berkaitan dengan diri Nabi SAW.. dan suasana yang melatarbelakangi atau
menyebabkan terjadinya hadits mempunyai kedudukan penting dalam pemahaman
hadits secara utuh.
karenanya banyak ulama yang menyatakan seorang perempuan tidak sah
menjadi khalifah atau imam. Para ulama tersebut menanggapi hadits ini
sebagai ketentuan yang bersifat baku (universal), tanpa melihat
aspek-aspek yang terkait dengan hadits, seperti kapasitas diri Nabi SAW.
ketika mengucapkan hadits, suasana yang melatarbelakangi munculnya hadits,
setting sosial yang melingkupi sebuah hadits. Padahal, segi-segi yang
berkaitan dengan diri Nabi SAW.. dan suasana yang melatarbelakangi atau
menyebabkan terjadinya hadits mempunyai kedudukan penting dalam pemahaman
hadits secara utuh.
Berarti
sabda Nabi SAW.. ini jelas bertentangan dengan fakta yang ada. Bahkan dalam
al-Qur`an pun dijumpai kisah tentang adanya seorang perempuan yang memimpin
negara dan meraih sukses besar, yaitu Ratu Bilqis di negeri Sabaâ.[8]
Perempuan
dan laki-laki berhak menjadi pemimpin dengan catatan ia mampu untuk
melaksanakan dan mempertanggungjawabkannya.
c.
Hadits Tentang Laknat Malaikat
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ[9]
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi, SAW. berkata jika seorang pria memanggil
istrinya ke tempat tidurnya dan dia menolak untuk datang maka malaikat mengutuk
dia sampai pagi. (HR. Bukhari)
Jika hadits ini
dipahami secara harfiah, maka akan sangat bertentangan dengan prinsip al-Qur’an
“wa ‘asyiruhunna bi al-ma’ruf”. Kata “wahuwa ghadlaban” artinya
suami dalam keadaan marah, berarti kalau tidak marah, tidak apa-apa. Apalagi
kalau istri sedang lelah, sakit dsb. yang menyebabkan tidak bisa ‘menjalankan
tugas’ maka suami pun tidak berhak untuk marah, sebab jika suami marah maka
telah menyalahi ketentuan “mu’asyarah bi-al ma’ruf”.[10]
Jadi,
hadits tersebut tidaklah memberatkan perempuan dengan beban melayani suami
seperti diatas.
d.
Hadits Tentang Puasa Sunnah
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِه[11]
Artinya:
“Telah berkata Muhammad bin Muqotil mengabarkan kepada kita Abdullah mengatakan
kepada kami Muammar dari Hammam bin Manab dari Abu Hurairah dari Nabi SAW..;
Tidak boleh bagi wanita untuk berpuasa sunat jika suaminya hadir (tidak
musafir) kecuali dengan seizinnya.”(HR. Bukhori)
Jika dipahami
secara harfiah, hadits ini akan menimbulkan kesalahpaman dan kesan
diskriminatif. Padahal ini dari hadits tersebut adalah dalam berumah tangga
hendaknya masing-masing pasangan mengetahui apa yang sedang dilakukan
pasangannya.
Berdasarkan
analisis matan hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa selama ini isu-isu diskriminatif gender sangat bertentangan dengan nash hadits. Apa
yang selama ini dituduh oleh aktifis feminisme justru sangat bertentangan
dengan Islam. Salah satu misi Islam adalah memuliakan perempuan. Dan itu terbukti, hadits-hadits yang
dituduh misoginis[12] masih kalah banyak dibanding hadits yang
memuliakan perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar